Jumat, 25 Maret 2011

tak ada pilu lagi

akhirnya aku telah berhasil melewati masa kesulitanku dalam menghapus pikiran tentang dirimu.Kau jiwa beserta ragamu sudah tak tersisa dalam hati,semuanya telah musnah tanpa jejak luka sedikitpun yang tergores,melambangkan bahwa aku bisa sepenuhnya bernafas meski tanpa dirimu dan kini yabg biasanya setiap malam aku berbagi tangis dengan seorang sahabat dan cerita panjang lebar tentangmu kini sudah tak lagi ada malam yang seperti itu, semuanya sunyi dan damai tanpa keluh kesah ku pada sahabat, apakah sahabatku merindukan cerita tentangmu?? kuharap TIDAK!!!dan aku berkata "Hei sahabat aku sudah benar" bisa dan mampu melupakan nya terimakasih telah menjadi pendengar setiaku :* dan terimaksih sudah mau berbagi celotehanku meski rasanya bagimu semua itu tak penting tapi aku butuh tempat untuk menampung segala risau dan kini kau baik"lah sahabat". Karna aku sudah kemvbali ceria! juga berkat dirimu.
Kini harap-harap cemas tentangnya sudah tak menghantui aku lagi. cukup sekian kisah ini dan perih ini ku bagi denganmu sahabat
thanks so MUCH :') :* ...

Kata hati



Tiada guna ku menangis, tiada guna ku memikirkanmu,tiada apapun yang ku dapatkan saat aku mengingatmu. Sekarang kau pergila!! bahagialah bersama duniamu karna aku akan bergembira bersama kebebasanku . Denngarlah aku tak akan mengngagumimu lagi dan dengarlah aku tak akan menginginkanmu lagi, cukup batinku tersiksa,sudahlah lelah ini kurasa aku ingin bahagia dengan bebas tanpa beban aku ingin terbang jauh meninggalkan bayang-bayang wajahmu . Biarlah kau membalikan badanmu dan teruslah berjalan lurus menuju kabut kelam itu! hingga aku tak dapat melihatmu jangan pernah kembali,jangan pernah kembali lagi boy!! dan jangan berdiri atau menampakkan dirimu di tempat diman aku bisa melihatmu JANGAN PERNAH!!
Karna aku sudah tenang dengan hidupku yang seperti ini tanpa hadir sosog MU ..:')

Rabu, 23 Maret 2011

Sasando


Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7. Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.[1]

Reog Ponorogo

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Daftar isi

• 1 Sejarah
• 2 Pementasan Seni Reog
• 3 Kontroversi
• 4 Catatan dan referensi
• 5 Lihat pula
• 6 Pranala luar

Sejarah
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok [1], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya [3] .
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Pementasan Seni Reog

Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
Kontroversi
Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan[4]. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.
Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia",[5][6] dan diakui sebagai warisan masyarakat dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.[7] Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo.[8] Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta.[9] Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.[7]
Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut [10].

Tari Pendet


Penari pendet memegang bokor tempat bunga yang akan ditaburkan.
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

Rumah Adat Banjar

Rumah Bubungan Tinggi
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871 pemerintah kota Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya. [1]Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.
Daftar isi
• 1 Jenis-jenis Rumah Adat Banjar
• 2 Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
o 2.1 Rumah Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim
o 2.2 Kondisi Rumah Adat Banjar
• 3 Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
o 3.1 Pondasi, Tiang dan Tongkat
o 3.2 Kerangka
o 3.3 Lantai
o 3.4 Dinding
o 3.5 Atap
o 3.6 Ornamentasi (Ukiran)
• 4 Pengaruh Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan
• 5 Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar
• 6 Filosofi Rumah Adat Banjar
o 6.1 Dwitunggal Semesta
o 6.2 Pohon Hayat
o 6.3 Payung
o 6.4 Simetris
o 6.5 Kepala-Badan-Kaki
o 6.6 Tata Nilai Ruang
o 6.7 Tawing Halat/Seketeng
o 6.8 Denah Cacak Burung
• 7 Referensi
• 8 Lihat pula
• 9 Pranala luar
• 10 Rujukan

Jenis-jenis Rumah Adat Banjar
• Rumah Bubungan Tinggi
• Rumah Gajah Baliku
• Rumah Gajah Manyusu
• Rumah Balai Laki
• Rumah Balai Bini
• Rumah Palimbangan
• Rumah Palimasan (Rumah Gajah
• Rumah Cacak Burung/Rumah Anjung Surung
• Rumah Tadah Alas
• Rumah Lanting
• Rumah Joglo Gudang
• Rumah Bangun Gudang
Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45º.
Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596–1620.
Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.
Sekitar tahun 1850 bangunan-bangunan perumahan di lingkungan keraton Banjar, terutama di lingkungan keraton Martapura dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan induk yang utama karena rumah tersebut merupakan istana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan Palimasan sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa emas dan perak.
Balai Laki adalah tempat tinggal para menteri kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh, Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan Gajah Baliku, Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk bangunan rumah ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan ciri khas kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumah penduduk daerah Banjar.
Rumah Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim



Rumah Baanjung tipe Rumah [Gajah] Balai Bini di Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Kemudian bentuk bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sekalipun bentuk rumah-rumah yang ditemui di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mempunyai ukuran yang sedikit berbeda dengan rumah Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan ciri khas bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan.
Di Kalimantan Tengah bentuk rumah ba-anjung ini dapat dijumpai di daerah Kotawaringin Barat, yaitu di Pangkalan Bun, Kotawaringin Lama dan Kumai.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar ke daerah Kotawaringin ialah melalui berdirinya Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan dari wilayah Kerajaan Banjar ketika diperintah oleh Sultan Musta’inbillah.
Sultan Musta’inbillah memerintah sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia digantikan oleh Sultan Inayatullah.
Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan wilayah Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta Kesuma sebagai sultannya yang pertama.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar sampai ke daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk daerah Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat tinggalnya dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di tempat asal mereka.
Demikianlah pada akhirnya bangunan rumah adat Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak saja di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Kondisi Rumah Adat Banjar
Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi.
Sejak tahun 1930-an orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Masalah biaya pembangunan rumah dan masalah areal tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern sesuai selera zaman.
Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode sekarang.
Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang mempunyai gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.
Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai Jingah, Kampung Melayu Laut di Melayu, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin, Desa Teluk Selong Ulu, Maratapura, Banjar, Desa Dalam Pagar), Desa Tibung, Desa Gambah (Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan di Negara.
Masing-masing rumah adat tersebut sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali.
Pemerintah sudah mengusahakan subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggota keluarga pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh dengan berbagai ornamen menarik.
Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
Kerangka
Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral. Bagian-bagian rangka tersebut adalah :
1. susuk dibuat dari kayu Ulin.
2. Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih.
3. Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.
4. Watun Barasuk dari balokan Ulin.
5. Turus Tawing dari kayu Damar.
6. Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.
7. Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr>
8. Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih.
9. Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.
10. Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
11. Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih.
12. Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.
Lantai
Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, kadang-kadang dindingnya menggunakan Palupuh.
Atap
Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. Kaligrafi Arab merupakan ragam hias yang muncul belakangan yang memperkaya ragam hias suku Banjar. (Museum Lambung Mangkurat - Banjarbaru, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya", 1992/1993)
Pengaruh Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan
Meskipun orang Banjar sudah memeluk Islam, namun dalam kegiatan sehari-hari yang sehubungan dengan kebudayaan masih melekat unsur aninisme, Hindu-Buddha yang berkembang sebagai dasar adat pada masa lalu. Akan tetapi hal itu tidak secara keseluruhan. Religi yang dianggap asal adalah dari Kaharingan yang dikembangkan oleh orang Dayak. Pengaruh Hindu, Buddha, Islam maupun Kristen tidak berarti kepercayaan nenek moyang dengan segala upacara religinya hilang begitu saja. Orang-orang Dayak yang telah memeluk Islam dianggap sebagai Suku Bangsa Banjar dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai suku Dayak. Suku Banjar hampir semua sendi keagamaanya didasarkan pada sentimen keagamaan yang bersumber pada ajaran Islam. Jadi setiap setiap rumah tangga memiliki peralatan yang berhubungan dengan pelaksanaan keagamaan. Demikian pula pada rumah tradisional Banjar banyak dilengkapi dengan ukiran yang berkaitan dengan persaudaraan, persatuan, kesuburan, maupun khat-khat kaligrafi Arab yang bersumber dari ajaran Islam seperti dua kalimat syahadat, nama-nama Khalifah, Shalawat, atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an.
Namun ukiran-ukiran di rumah Banjar juga masih ada yang berhubungan dengan kepercayaan Kaharingan, Aninisme, Dinanisme, maupun Hindu-Buddha, misalnya swastika, enggang, naga dan sebagainya
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1. Panjang dan lebar rumah ditentukan ukuran depa suami dalam jumlah ganjil. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
2. Dihitung dengan mengambil gelagar pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur. Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak baik sehingga harus ditutup dengan gelagar. Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
3. Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997 : 462); Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang binatang yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak. Panjang ideal dilambangkan naga dan lebarnya dilambangkan gajah.Yang tidak baik ialah lambang binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. (Jumlah) panjang depa seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12). Bila panjang rumah 6 depa, berarti 6 x 12 ukuran atau 72 ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi. Untuk memperoleh ukuran lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa. (Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997 : 462)
Filosofi Rumah Adat Banjar
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia Bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang melambangkan "alam atas".
Pohon Hayat
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah "pohon hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi "pohon kehidupan" yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya.
Payung
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung kuning" sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.
Simetris
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri Panganan bergelar 'Patih' dan Mantri Pangiwa bergelar 'Sang', tiap-tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. KOnsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi.
Kepala-Badan-Kaki
Bentuk rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia terbagi menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu kepala, badan dan kaki. Sedangkan anjung diibaratkan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yaitu anjung kanan dan anjung kiwa (kiri).
Tata Nilai Ruang
Pada rumah Banjar Bubungan Tinggi (istana) terdapat ruang Semi Publik yaitu Serambi atau surambi yang berjenjang letaknya secara kronologis terdiri dari surambi muka, surambi sambutan, dan terakhir surambi Pamedangan sebelum memasuki pintu utama (Lawang Hadapan) pada dinding depan (Tawing Hadapan ) yang diukir dengan indah. Setelah memasuki Pintu utama akan memasuki ruang Semi Private. Pengunjung kembali menapaki lantai yang berjenjang terdiri dari Panampik Kacil di bawah, Panampik Tangah di tengah dan Panampik Basar di atas pada depan Tawing Halat atau "dinding tengah" yang menunjukkan adanya tata nilai ruang yang hierarkis. Ruang Panampik Kecil tempat bagi anak-anak, ruang Panampik Tangah sebagai tempat orang-orang biasa atau para pemuda dan yang paling utama adalah ruang Panampik Basar yang diperuntukkan untuk tokoh-tokoh masyarakat, hanya orang yang berpengetahuan luas dan terpandang saja yang berani duduk di area tersebut. Hal ini menunjukkan adanya suatu tatakrama sekaligus mencerminkan adanya pelapisan sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan atas adalah golongan berdarah biru disebut Tutus Raja (bangsawan) dan lapisan bawah adalah golongan Jaba (rakyat) serta diantara keduanya adalah golongan rakyat biasa yang telah mendapatkan jabatan-jabatan dalam Kerajaan beserta kaum hartawan.
Tawing Halat/Seketeng
Ruang dalam rumah Banjar Bubungan Tinggi terbagi menjadi ruang yang bersifat private dan semi private. Diantara ruang Panampik Basar yang bersifat semi private dengan ruang Palidangan yang bersifat private dipisahkan oleh Tawing Halat artinya "dinding pemisah", kalau di daerah Jawa disebut Seketeng. Jika ada selamatan maupun menyampir (nanggap) Wayang Kulit Banjar maka pada Tawing Halat ini bagian tengahnya dapat dibuka sehingga seolah-olah suatu garis pemisah transparan antara dua dunia (luar dan dalam) menjadi terbuka. Ketika dilaksanakan "wayang sampir" maka Tawing Halat yang menjadi pembatas antara "dalam" (Palidangan) dan luar (Paluaran/Panampik Basar) menjadi terbuka. Raja dan keluarganya serta dalang berada pada area "dalam" menyaksikan anak wayang dalam wujud aslinya sedangkan para penonton berada di area "luar" menyaksikan wayang dalam bentuk bayang-bayang.
Denah Cacak Burung
Denah Rumah Banjar Bubungan Tinggi berbentuk "tanda tambah" yang merupakan perpotongan dari poros-poros bangunan yaitu dari arah muka ke belakang dan dari arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah Cacak Burung yang sakral. Di tengah-tengahnya tepat berada di bawah konstruksi rangka Sangga Ribut di bawah atap Bubungan Tinggi adalah Ruang Palidangan yang merupakan titik perpotongan poros-poros tersebut. Secara kosmologis maka disinilah bagian paling utama dari Rumah Banjar Bubungan Tinggi. Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili dengan penampilan Tawing Halat (dinding tengah) yang penuh ukiran-ukiran (Pohon Hayat) yang subur makmur. Tawing Halat menjadi fokus perhatian dan menjadi area yang terhormat. Tawang Halat melindungi area "dalam" yang merupakan titik pusat bangunan yaitu ruang Palidangan (Panampik Panangah).

Senin, 21 Maret 2011

Ep #6 : The Ex ( Sang Mantan ) CCC



Kedatangan Gladis kembali ke Jakarta membuat Rafael dan anak-anak SMASH terkejut. Lebih-lebih mengetahui kalau Gladis masih menganggap Rafael sebagai pacarnya. Padahal Rafael sudah menganggapnya sebagai mantan pacar karena mereka sudah lost contact selama hampir 2 tahun. Morgan berhasil mencegah pertemuan Putri dengan Gladis malam itu. Dan akhirnya berkat Morgan juga, Rafael bisa menghindar dari Gladis. Gladis sendiri agak kecewa karena malam itu ia hanya bertemu Rafael sebentar.

Setelah program pertukaran pelajarnya selesai, kini saatnya Gladis kembali ke SMA Harapan. Rafael yang tak mau mengecewakan Putri lagi, berusaha menghindari Gladis di tengah hubungannya dengan Putri. Gladis pun heran dengan Rafael yang selalu menghindarinya. Anak-anak SMASH sendiri selalu melindungi Rafael. Namun bagi mereka, Rafael harus cepat-cepat menentukan siapa yang harus dipilihnya. Apakah itu Gladis atau Putri, sebelum keduanya terlanjur sakit hati.

Mulai Tayang: Jumat, 25 Maret 2011 wib hanya di Trans TV

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More